Powered by RND
PodcastsNewsSuarAkademia

SuarAkademia

The Conversation
SuarAkademia
Latest episode

Available Episodes

5 of 100
  • Kasus COVID-19 naik lagi di ASEAN: Apa yang perlu kita waspadai?
    CC BYIsu COVID-19 kembali memanas di kawasan Asia Tenggara. Sejumlah negara melaporkan peningkatan kasus yang cukup mengkhawatirkan. Contohnya, Singapura mencatat lebih dari 14 ribu kasus dalam sepekan, disertai kenaikan jumlah pasien yang membutuhkan perawatan rumah sakit. Varian baru virus COVID LF.7 dan NB.1.8 diduga menjadi pemicu utama gelombang ini. Kondisi ini jadi alarm bahwa virus COVID-19 masih terus bermutasi dan berada di sekitar kita. Pemerintah di banyak negara pun mulai mengambil langkah cepat dengan meningkatkan imbauan protokol kesehatan dan pantau penyebaran COVID lebih ketat. Baca juga: Jika pandemi terjadi lagi, bagaimana mitigasi layanan kesehatan TB & HIV seharusnya? Lantas, apa yang bisa kita lakukan untuk mengantisipasi kenaikan kasus COVID-19 di negara tetangga? Pentingnya sistem kesehatan yang tangguh Dalam episode SuarAkademia terbaru, kami berbincang dengan Olivia Herlinda, Chief Research and Policy dari Center for Indonesia’s Strategic Development Initiatives (CISDI). Menurut Olivia, ada dua faktor terkuat yang memicu kenaikan kasus COVID-19 di ASEAN, yaitu mutasi virus yang memang tidak bisa dibendung dan menurunnya kekuatan vaksin dalam tubuh. Karena itu, dia mengingatkan pentingnya memperketat pengawasan penyebaran virus dan meningkatkan akses vaksin booster untuk masyarakat. “Kendati pendekatan vaksinasi Indonesia pada saat pandemi sudah cukup responsif, pendekatan ini perlu ditopang oleh sistem distribusi yang lebih akurat dan inklusif, serta pengumpulan data yang lebih sistematis.” ujar Olivia. Dia menambahkan, ketimpangan data antara pemerintah pusat dan daerah selama pandemi memberikan pelajaran soal pentingnya memperbarui sistem surveilans secara fundamental. Selain itu, pemerintah perlu memperkuat sistem pengawasan kesehatan. Pasalnya, masih tingginya kesenjangan fasilitas kesehatan antardaerah, menurut Olivia bisa menjadi masalah dalam penanganan kasus COVID-19 mendatang. Hal yang tak kalah penting, pemerintah perlu menyampaikan komunikasi risikonya secara detail. Olivia berharap pemerintah bisa menyampaikan informasi secara transparan, konsisten, dan empatik agar tidak menimbulkan kepanikan di masyarakat. Simak episode lengkapnya hanya di SuarAkademia—ngobrol seru isu terkini, bareng akademisi.
    --------  
    26:23
  • AI masuk kurikulum pendidikan: Sesuai kebutuhan zaman atau terlalu dipaksakan?
    Kecerdasan buatan (AI) telah menjadi topik utama dalam percakapan global tentang teknologi dalam beberapa tahun terakhir. Perkembangannya yang pesat membuat AI tidak lagi diperlakukan sebagai fitur tambahan dalam sistem digital, tetapi menjelma menjadi motor utama berbagai inovasi lintas sektor. Di dunia industri, AI membantu mempercepat dan menyempurnakan proses produksi, mempermudah manajemen logistik hingga memberikan dukungan keputusan berbasis data secara langsung. Sementara itu, sektor pendidikan juga mulai merasakan dampak positif teknologi ini, misalnya lewat penggunaan platform pembelajaran yang bisa menyesuaikan dengan kebutuhan siswa serta sistem evaluasi yang adaptif dan personal. Melihat urgensi peran AI di masa depan, pemerintah Indonesia pun mengambil langkah strategis. Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka mewacanakan untuk mengintegrasikan AI ke dalam kurikulum pendidikan nasional. Menurutnya, penting bagi anak-anak Indonesia untuk tak sekadar menjadi pengguna teknologi, tetapi juga tumbuh sebagai inovator yang mampu mengembangkan solusi berbasis AI sejak usia dini. Apakah memasukkan AI sebagai salah satu subjek kurikulum pendidikan adalah langkah yang tepat untuk saat ini? Atau ini adalah langkah yang terburu-buru tanpa perhitungan matang? Dalam episode terbaru SuarAkademia, Podcast Producer The Conversation Indonesia, Muammar Syarif, berbincang dengan tiga anggota tim redaksi: Robby Irfany Maqoma (Managing Editor), Hayu Rahmitasari (Editor Pendidikan & Budaya) dan Dewi N. Piliang (Editor Lingkungan). Robby berpendapat bahwa usulan memasukkan AI dalam kurikulum adalah ide yang harus dipersiapkan secara serius dan bukan hanya usulan yang reaktif. Menurutnya, pemerintah perlu memastikan kebutuhan dasar terkait pendidikan seperti kualitas guru, kualitas sekolah, dan fasilitas penunjang pendidikan di sekolah baik dan merata sebelum merealisasikan ide ini. Ia menambahkan, kalau pemerintah hanya sekadar memasukkan AI sebagai subjek kurikulum tanpa memperhatikan aspek aspek mendasar lain, pada akhirnya ini hanya akan sekedar menjadi tambahan mata pelajaran yang tidak memberi nilai tambah pada kecerdasan siswa secara umum. Hayu menguatkan argumen Robby dengan mengatakan wacana ini justru akan menjadi kontraproduktif jika infrastruktur dasar seperti jaringan internet belum merata di seluruh wilayah Indonesia. Menurutnya, alih-alih menjadi alat untuk meningkatkan kualitas pembelajaran, teknologi AI justru berisiko menciptakan hambatan baru bagi kelompok yang tidak memiliki akses teknologi dan literasi digital. Hayu menegaskan bahwa integrasi AI tanpa pendekatan inklusif hanya akan memperdalam ketimpangan yang selama ini menjadi masalah utama dalam dunia pendidikan nasional. Sedangkan, Dewi melihat wacana integrasi AI dalam kurikulum justru belum dibarengi dengan perencanaan yang sistematis. Ia menyarankan Indonesia seharusnya memiliki regulasi dan peta pengembangan AI yang jelas seperti Cina yang sudah memiliki ini sejak tahun 2017. Peta jalan itu kemudian diikuti dengan aturan-aturan turunan yang spesifik pada berbagai sektor, termasuk pendidikan. Untuk saat ini, Dewi menganggap penguatan literasi digital peserta didik menjadi lebih penting daripada langsung mengintegrasikan AI kedalam kurikulum. Menurutnya, tanpa memiliki literasi digital yang baik, siswa memiliki potensi untuk menyalahgunakan AI dalam aktifitas sehari-hari. Simak episode lengkapnya hanya di SuarAkademia—ngobrol seru isu terkini, bareng akademisi.
    --------  
    38:14
  • Perbedaan data kemiskinan versi BPS dan Bank Dunia: bagaimana cara kita memahaminya?
    Kemiskinan sering dijadikan barometer utama untuk melihat tingkat kesejahteraan sebuah negara dan menjadi pijakan penting dalam merancang kebijakan publik. Namun, mendefinisikan dan mengukurnya ternyata bukan hal yang mudah. Salah pilih pendekatan dan metode bisa menghasilkan potret yang sangat kontras mengenai kondisi sosial dan ekonomi masyarakat. Belakangan ini, perbincangan soal kemiskinan di Indonesia kembali mencuat, dipicu oleh perbedaan mencolok antara data yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS) dan Bank Dunia. Menurut laporan resmi BPS per September 2024, ada sekitar 24,06 juta orang Indonesia yang dikategorikan hidup di bawah garis kemiskinan yang setara dengan 8,57 persen dari total penduduk. Sementara itu, Bank Dunia menggunakan pendekatan berbeda yang memperkirakan jumlah penduduk miskin mencapai 171,8 juta jiwa, atau sekitar 60,3 persen dari seluruh populasi. Dengan perbedaan angka yang cukup jauh, mengapa kedua lembaga ini bisa mengeluarkan hasil yang tidak sama? Apakah ada metode perhitungan yang berbeda? Dalam episode SuarAkademia terbaru, kami membahas isu ini bersama Dipo Satria Ramli, ekonom dan mahasiswa doktoral di Universitas Indonesia. Dipo mengatakan Perbedaan antara data BPS dan Bank Dunia bukan terletak pada sumber data, melainkan pada metode penghitungan dan standar hidup yang digunakan. Bank Dunia menetapkan garis kemiskinan pada angka US$ 6,85 per hari untuk negara yang masuk dalam kategori berpendapatan menengah atas seperti Indonesia, sementara BPS menggunakan standar sekitar Rp20.000. Dipo berpendapat bahwa garis kemiskinan yang digunakan oleh BPS mungkin terlalu rendah dan tidak sepenuhnya mencerminkan realitas sosial-ekonomi masyarakat. Hal ini dapat memberikan gambaran yang menyesatkan tentang kondisi sebenarnya. Dipo menekankan pentingnya penggunaan data yang akurat untuk mendukung kebijakan publik yang efektif. Ia menunjukkan adanya kebingungan dalam definisi kemiskinan di Indonesia dan mendesak agar diterapkan standar yang konsisten, agar perbandingan dengan negara lain menjadi lebih relevan. Ia pun menyarankan agar garis kemiskinan versi Bank Dunia digunakan sebagai acuan dalam membuat perbandingan internasional yang adil dan valid. Dipo juga melihat pentingnya standar pengukuran yang obyektif dan relevan. Menurutnya, langkah seperti ini mencerminkan keberanian menghadapi kenyataan demi melindungi kelompok rentan, seperti anak-anak yang mengalami kekurangan gizi atau ibu tunggal yang harus bekerja keras demi menghidupi keluarga. Simak episode lengkapnya hanya di SuarAkademia—ngobrol seru isu terkini, bareng akademisi.
    --------  
    31:57
  • Benarkah “dating apps” mempengaruhi kecakapan sosial kaum muda sekarang?
    Penggunaan aplikasi kencan (dating apps) telah menjadi bagian dari keseharian banyak kaum muda dalam satu dekade terakhir. Dengan hanya beberapa kali swipe, pengguna bisa menemukan pasangan potensial, memulai obrolan, bahkan membangun hubungan emosional tanpa pernah bertemu secara langsung. Meski tak lagi baru, dampak fenomena ini terhadap cara generasi muda menjalin koneksi dan membentuk identitas sosial masih hangat dibicarakan. Hubungan manusia pada dasarnya dibentuk oleh interaksi yang kompleks, melibatkan bahasa tubuh, nada suara, dan kehadiran emosional yang sering kali tidak sepenuhnya tergantikan oleh komunikasi daring. Namun, platform digital menawarkan alternatif yang praktis dan instan, meski dengan konsekuensi tersembunyi. Di tengah kehidupan masyarakat yang semakin terdigitalisasi, muncul pertanyaan mendasar: bagaimana pengaruh aplikasi kencan terhadap keterampilan sosial kaum muda? Dalam episode SuarAkademia terbaru, kami membahas topik ini dengan Fakhirah Inayaturobbani, dosen jurusan Psikologi dari Universitas Gadjah Mada. Bagi Fakhirah, aplikasi kencan bisa menjadi dua hal: jembatan yang mempertemukan dua orang dari sudut dunia yang berbeda, atau justru jurang yang memperlebar kesenjangan dalam membangun relasi sosial yang sehat. Ia percaya bahwa di tengah masifnya kehadiran ruang digital, kaum muda tetap perlu mengasah keterampilan sosial mereka lewat pengalaman langsung dan merasakan kehadiran satu sama lain secara nyata. Dunia digital boleh dimanfaatkan, tapi secara bijak dan penuh kesadaran. Fakhirah mengakui bahwa aplikasi kencan memang menawarkan kenyamanan yang luar biasa. Bagi banyak orang, dating apps menjadi ruang aman untuk menampilkan versi terbaik dari diri mereka sehingga banyak orang merasa lebih percaya diri, lebih terkontrol, dan kadang lebih menarik. Anonimitas serta kemampuan memilih bagaimana ingin terlihat menjadi daya tarik tersendiri. Tapi di balik itu semua, Fakhirah mengingatkan bahwa batas antara kenyataan dan imajinasi bisa menjadi kabur. Salah satu hal yang paling ia cemaskan adalah bagaimana aplikasi-aplikasi ini cenderung mendorong komunikasi instan dan serba cepat. Bagi sebagian besar kaum muda, mengekspresikan diri lewat teks atau foto terasa jauh lebih mudah ketimbang harus berhadapan langsung dan menanggapi secara spontan. Akibatnya, ketika mereka dihadapkan pada situasi sosial yang nyata seperti berinteraksi di depan orang lain, membaca ekspresi wajah, atau merespons emosi, mereka bisa merasa kikuk bahkan kewalahan. Dalam jangka panjang, ini bisa menghambat kemampuan membangun hubungan yang otentik dan penuh makna. Fakhirah juga menyoroti bagaimana algoritma di balik aplikasi kencan menciptakan ilusi akan kontrol dan kepastian. Segalanya tampak bisa dipilih dan diatur: dari preferensi fisik hingga lokasi. Padahal, dalam kehidupan nyata, relasi manusia jauh lebih kompleks. Ia menambahkan, komunikasi digital punya harga tersendiri secara emosional. Jeda waktu, kebingungan akan maksud pesan, hingga tidak tahu seperti apa sebenarnya orang yang diajak bicara, bisa membuat seseorang merasa lelah dan tidak aman. Karena itu, penting bagi setiap individu—terutama kaum muda—untuk menyadari bahwa komunikasi virtual dan komunikasi nyata adalah dua hal berbeda, meski tujuannya adalah membangun koneksi. Meski begitu, Fakhirah tidak setuju jika kaum muda yang menggunakan aplikasi kencan langsung dicap tidak punya keterampilan sosial. Menurutnya, alasan seseorang menggunakan aplikasi sangat beragam. Ada yang tulus mencari teman hidup, ada pula yang sekadar ingin ngobrol ringan untuk mengisi waktu. Simak episode lengkapnya hanya di SuarAkademia—ngobrol seru isu terkini, bareng akademisi.
    --------  
    52:32
  • Hari buruh internasional: kesejahteraan buruh perempuan masih jauh dari kata layak
    Setiap peringatan Hari Buruh Internasional, sorotan terhadap kontribusi pekerja dalam pembangunan sosial-ekonomi menguat, tak terkecuali di Indonesia. Namun, di balik tuntutan kenaikan upah dan perbaikan hak kerja, terselip kisah pilu pekerja perempuan yang masih berjuang melawan ketimpangan struktural. Diskriminasi gender, beban kerja ganda, serta akses terbatas terhadap perlindungan sosial dan kesehatan kerja menjadikan posisi mereka semakin rentan dalam dunia kerja. Dalam sektor manufaktur, garmen, hingga pekerjaan domestik, perempuan sering kali terjebak dalam lingkaran upah rendah, kontrak kerja tidak tetap, dan kerentanan terhadap pelecehan. Realitas ini menunjukkan bahwa keadilan sosial dan kesetaraan gender seharusnya menjadi bagian penting dari agenda peringatan Hari Buruh, bukan sekadar fokus pada aspek ekonomi semata. Upaya mengatasi masalah ini diwujudkan melalui Rancangan Undang-Undang Kesejahteraan Ibu dan Anak (RUU KIA), salah satunya dengan mengusung kebijakan cuti melahirkan enam bulan. Namun, kritik mengemuka dari berbagai pihak. Pelaku bisnis mengkhawatirkan beban biaya tambahan, sementara pegiat gender menilai aturan ini berisiko meminggirkan perempuan dari lapangan kerja jika tak diimbangi jaminan perlindungan. Lalu bagaimana kebijakan dan praktik ketenagakerjaan saat ini dapat diubah agar tidak hanya melindungi buruh perempuan? Dalam episode SuarAkademia terbaru, kami berbincang dengan Abby Gina Boang Manalu, direktur eksekutif dari Jurnal Perempuan dan juga dosen jurusan Filsafat Universitas Indonesia. Abby secara tegas menyoroti bagaimana sistem kerja yang ada masih sangat bias gender. Ini diwarisi dari struktur sosial patriarkal yang mengakar kuat. Menurutnya, selama perempuan terus dianggap sebagai pelengkap dalam sistem ekonomi, bukan sebagai pelaku utama, maka kesenjangan akan terus dibiarkan tumbuh. Abby menekankan bahwa perempuan menghadapi tekanan ganda sebagai pencari nafkah dan pengasuh keluarga, namun sistem kerja formal belum cukup adaptif dalam mengakomodasi realitas ini. Ia mendorong hadirnya kebijakan yang tidak hanya mengakui tetapi juga melindungi hak-hak perempuan secara substantif seperti cuti menstruasi, cuti paternitas untuk mendorong kesetaraan peran pengasuhan, serta mekanisme perlindungan dari kekerasan seksual di tempat kerja. Menurutnya, keberadaan lingkungan kerja yang aman dan adil bukan sekadar fasilitas tambahan, tetapi prasyarat utama bagi terwujudnya partisipasi perempuan yang bermakna dalam dunia kerja. Ia juga menekankan bahwa perubahan tidak akan datang dari atas saja. Perumusan kebijakan harus melibatkan suara perempuan pekerja, khususnya mereka yang berada di sektor informal dan akar rumput, agar kebijakan tidak bersifat elitis dan mengambang. Abby mengingatkan bahwa banyak intervensi kebijakan selama ini gagal karena hanya berdasarkan asumsi teknokratik, bukan pengalaman nyata perempuan di lapangan. Simak episode lengkapnya hanya di SuarAkademia—ngobrol seru isu terkini, bareng akademisi.
    --------  
    32:59

More News podcasts

About SuarAkademia

Suar Akademia adalah podcast ngobrol seru yang menghadirkan akademisi dan peneliti untuk menjelaskan dan mengomentari isu terkini, dipandu oleh para editor The Conversation Indonesia (TCID).
Podcast website

Listen to SuarAkademia, SMWX and many other podcasts from around the world with the radio.net app

Get the free radio.net app

  • Stations and podcasts to bookmark
  • Stream via Wi-Fi or Bluetooth
  • Supports Carplay & Android Auto
  • Many other app features

SuarAkademia: Podcasts in Family

Social
v7.18.3 | © 2007-2025 radio.de GmbH
Generated: 6/3/2025 - 10:49:19 PM